5 May 2007

Minggu ke -2 May

IMAN

Ibrani 11 : 1 : “Iman adalah DASAR dari segala sesuatu yang kita harapkan dan BUKTI dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”

Apakah iman itu? Kita percaya kepada Tuhan Yesus walaupun kita belum pernah melihat Tuhan, kita mengharapkan keselamatan di dalam Dia, kita mengharapkan hidup kekal di dalam sorga karena kita percaya bahwa sorga itu ada. Itulah IMAN! Selama kita hidup di dunia ini, kita memerlukan iman. Kelak kalau kita sudah masuk ke dalam sorga, kita sudah bertemu dan melihat Tuhan, kita tidak memerlukan iman lagi, karena semua yang kita harapkan telah nyata. Tetapi seperti apakah iman itu? Bagaimana kita menjaga agar iman kita tetap hidup? Mari kita lihat dan belajar dari seorang tokoh dalam Alkitab, yaitu Daud. Penulis surat Ibrani berkata: “Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.” (Ibrani 11 : 6), sedangkan dalam Kisah Para Rasul 13 : 22 dikatakan bahwa: ”Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku...”. Jadi tentulah Daud ini seorang yang mempunyai iman. Seperti apakah iman Daud?
1. Daud percaya akan kesetiaan Tuhan.
a. Kesetiaan dalam penyertaan/pertolongan-Nya:
Menjadi anak Tuhan tidak berarti kita bebas dari masalah, tapi kita harus percaya bahwa Tuhan selalu menyertai kita dalam masalah kita. Dengan kita semakin bertumbuh, seringkali masalah semakin berat, karena masalah itu Tuhan ijinkan terjadi untuk membuat kita menjadi kuat dalam iman. Sama seperti seorang anak yang bersekolah, semakin naik kelas, ujian yang dihadapi semakin berat. Tetapi satu hal kita harus percaya, bahwa Tuhan adalah setia dan tidak akan meninggalkan kita, Ia selalu menolong kita. Ketika akan menghadapi Goliat, Daud berkata: ”Tuhan yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” (I Samuel 17 : 37). Ketika kita menghadapi masalah kita harus percaya, kalau dulu Tuhan telah menolong kita, Dia juga pasti akan menolong kita sekarang. Daud bukan tidak pernah merasa takut dalam hidupnya. Apa yang ia lakukan? Ia menguatkan kembali imannya kepada Tuhan (I Samuel 30 : 6). Ketika kita merasa takut, mari datang kepada Tuhan, baharui iman kita kepada-Nya. Dalam mazmurnya Daud berkata: ”Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu, kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mazmur 56 : 4-5).
b. Kesetiaan dalam janji-Nya:
Tuhan kita adalah Tuhan yang setia, yang tidak pernah ingkar dalam janji-Nya. Firman Tuhan berkata: ”Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta, bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (Bilangan 23 : 19). Daud percaya akan hal itu. Setelah diurapi oleh nabi Samuel, Daud tidak langsung menjadi raja. Bahkan ia dikejar-kejar oleh Saul untuk dibunuh. Tetapi ketika dua kali ia mendapat kesempatan untuk membunuh Saul, Daud tidak mengambil kesempatan itu. Ia sabar menunggu sampai waktu yang ditetapkan oleh Tuhan untuk menjadikan dia raja. Seringkali kita tidak sabar menunggu janji Tuhan digenapi dalam hidup kita, kita mengambil jalan sendiri sehingga merusak rencana Tuhan. Di zaman yang serba cepat ini, kita sering maunya semua instant, begitu juga dengan janji Tuhan bagi kita. Kita harus sadar bahwa kalau sesuatu kita dapat dengan mudah, kita tidak akan menghargainya. Seperti Saul yang langsung diangkat menjadi raja tanpa melalui proses, ia mudah berubah menjadi tidak setia. Berbeda dengan Daud yang melewati banyak masalah dan kesulitan, ia diproses oleh Tuhan menjadi seorang yang setia dan mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Memang saat kita menunggu janji Tuhan, kita bisa menjadi lelah karena ’lamanya’. Mari kita melihat dengan ”mata iman” kita, bukan dengan mata jasmani kita, agar iman kita tidak menjadi lemah.

2. Daud percaya akan anugerah pengampunan Tuhan.
Ketika jatuh dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba, hukuman Tuhan datang kepada Daud. Anaknya mati, tetapi Daud mendapat pengampunan. Daud tidak terus-menerus tinggal dalam penyesalan setelah anaknya mati, tetapi ia bangkit kembali dan ia sanggup menghibur hati Batsyeba. Daud berkata: ”Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu Tuhan mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.” (II Samuel 12 : 22-23). Seringkali ketika kita jatuh dalam dosa, kita sudah minta ampun kepada Tuhan, tetapi kita tidak bisa melupakan dosa kita, dan kita masih terus-menerus menyesalinya. Yohanes berkata: ”Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (I Yohanes 1 : 9). Kalau Tuhan mengampuni kita, ia tidak akan mengingat-ingat lagi dosa kita. Daud berkata: ”Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.” (Mazmur 103 : 12). Kita harus sadar bahwa yang selalu menuduh kita dan mengingatkan kita akan dosa kita adalah Iblis, karena ia mau merusak hubungan kita dengan Tuhan. Jangan mau tertipu! Kita harus percaya akan anugerah pengampunan Tuhan. Tetapi kita juga harus ingat, jangan bermain-main dengan anugerah itu! Yesus berkata kepada perempuan yang kedapatan berzinah: ”Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yohanes 8 : 11). Kalau Tuhan telah mengampuni dosa kita, jangan kita mengulanginya lagi! Hargailah anugerah-Nya!

3. Daud percaya akan kedaulatan Tuhan atas hidupnya.
Setelah Daud menjadi raja, anaknya Absalom memberontak terhadap dia sehingga Daud terpaksa melarikan diri. Tetapi Daud tidak marah dan protes kepada Tuhan mengapa hal itu terjadi. Ketika pengikutnya mengikuti dia dan membawa tabut Allah kepadanya, ia berkata: ”Bawalah tabut Allah itu kembali ke kota; jika aku mendapat kasih karunia di mata Tuhan, maka Ia akan mengijinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi, juga tempat kediamannya. Tetapi jika Ia berfirman, begini: Aku tidak berkenan kepadamu, maka Aku bersedia, biarlah dilakukan-Nya kepadaku apa yang baik di mata-Nya.” (II Samuel 15 : 25-26). Daud sadar bahwa Tuhan yang berkuasa atas hidupnya, Tuhan tahu apa yang terbaik baginya, dan ia benar-benar menyerahkan seluruh hidupnya dalam tangan Tuhan. Seringkali kita berkata kepada Tuhan bahwa kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya, bahwa Ia berkuasa atas hidup kita. Tetapi ketika sesuatu terjadi tidak sesuai dengan keinginan kita, kita marah, kita protes, dan kita memberontak kepada Tuhan. Kita tidak mau mengikuti kehendak Tuhan dan kita memilih jalan kita sendiri. Apakah dengan begitu berarti kita membiarkan Tuhan berkuasa atas hidup kita? Apakah kita ijinkan Tuhan mengatur hidup kita sesuai kehendak-Nya? Dalam hidup kita, mungkin ada hal yang Tuhan mau kita lepaskan (entah itu suami, anak, pekerjaan, hobi, atau sesuatu yang lain yang mengikat hati kita lebih dari Tuhan), apakah kita rela? Yesus berkata: ”Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10 : 37). Tuhan mau hanya Dia satu-satunya yang berkuasa atas hidup kita.
Yesus berkata: ”Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Lukas 18 : 8b). Iman adalah sesuatu yang sangat berharga. Iman itu yang dicari oleh Tuhan. Firman Tuhan berkata bahwa pada akhir zaman banyak orang akan mundur dari iman karena kesukaran-kesukaran yang terjadi, karena itu kita harus menjaga iman kita agar tidak menjadi lemah. Dengan berdoa dan membaca firman setiap hari kita akan semakin mengenal Tuhan, dan iman kita akan bertumbuh. Dengan beribadah dan bersekutu dengan teman-teman seiman, iman kita akan dibangun. Karena itu penulis surat Ibrani menasihatkan kita untuk tidak meninggalkan ibadah (Ibrani 10 : 25). Mari kita bangun terus iman kita menjelang kedatangan Tuhan yang semakin dekat. Amin! (LH)

Senin, 7 Mei 2007

MENGENAL YESUS

Yohanes 4 : 10-14

Yesus adalah Juruselamat dan keselamatan yang diberikan-Nya itu tercermin dari banyak pernyataan diri-Nya. Antara lain Yesus adalah Roti Hidup (Yohanes 6 : 35, 48, 51). Yohanes 6 : 54 berkata, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Yesus adalah juga Air Hidup (Yohanes 4 : 10). Yohanes 4 : 14 berkata, “Air yang Kuberikan kepadanya akan...terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” Yesus adalah Gunung Batu. Batu karang keselamatan yang memberi orang Israel minum ketika tak ada air di Rafidim (Keluaran 17 : 6). I Korintus 10 : 14 mengatakan, “Mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka dan batu karang itu ialah Kristus.” Bahkan Daudpun menyebut Yesus “gunung batuku dan keselamatanku” (Mazmur 19 : 15), “tempat berteduh” (Mazmur 18 : 3, 27 : 1), dan “menara yang kuat terhadap musuh” (Mazmur 61 : 4). Yesus adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yohanes 14 : 6). Mengapa jalan? Karena “ada jalan yang disangka orang lurus tetapi ujungnya menuju maut” (Amsal 14 : 12). Mengapa kebenaran? Karena “kebenaran menyelamatkan orang dari maut” (Amsal 10 : 2). Mengapa hidup? Karena Yesus berkata, “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” (Yohanes 5 : 24). Yesus adalah Juruselamat. Ia telah mati dan bangkit dari maut. Ia hidup. (DBR)

Tanpa mengenal Yesus kita tidak dapat mempunyai seorang Juruselamat dan Sahabat yang kekal.
Selasa, 8 Mei 2007

TUHAN PEMELIHARAKU

I Petrus 5 : 7

Ada seorang anak muda sedang berjalan-jalan ke kota. Ia pergi karena hendak membeli sepatu. Setiba di kota ia masuk ke salah satu toko. Iapun mulai melihat-lihat sepatu dan kemudian matanya mulai melihat sepasang sepatu yang begitu indah. Iapun mencoba sepatu itu. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli sepatu itu. Ketika ia hendak mengambil dompetnya, anak muda itu terkejut dan panik. Ternyata dompetnya tidak ada di saku celananya. Iapun mulai mencari-cari di seputar toko itu, siapa tahu dompetnya jatuh. Ternyata tidak ada. Dengan hati yang berat dan penuh kecewa dia pulang dengan berjalan kaki. Sambil berjalan ia mulai bersungut-sungut, “Mengapa Tuhan ini bisa terjadi? Katanya Kau selalu sertaku tapi kenapa dompetku kok bisa hilang?” Iapun terus bersungut-sungut di perjalanan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bunga yang cantik di pinggir jalan. Iapun heran bagaimana bisa ada bunga yang begitu cantik tumbuh di pinggir jalan. Ia mulai sadar bahwa Tuhan itu sungguh baik, Ia memelihara bunga itu dengan luar biasa meski hidupnya hanya sebentar saja. Tuhan mendandani bunga itu dengan begitu indahnya. Anak muda inipun mulai merenungkan kebaikan-kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Ternyata dari sekian banyak peristiwa yang terjadi, kebaikan Tuhan lebih banyak dari pada hal-hal yang membuat ia kecewa. Iapun minta ampun atas segala perkataannya itu. Seringkali kita seperti anak muda itu. Kita sering bersungut-sungut ketika kita mengalami hal-hal yang tidak enak. Sebaiknya ketika kita mengalami hal-hal yang tidak enak kita merenungkan kebaikan Tuhan. (Giant)

Pemeliharaan Tuhan justru lebih terasa di saat kita mengalami masalah.

Rabu, 9 Mei 2007

APA YANG KAU CARI DALAM HIDUP?

II Korintus 4 : 16–5 : 10

Hidup ini singkat! Berapa lama kita akan hidup? Tak seorangpun dapat menentukannya. Lalu apa yang kita cari selama kita ada di dalam dunia? Bagi banyak orang, mengejar uang, nama dan popularitas adalah prioritas dalam hidup mereka. Itu sebabnya banyak sekali perlombaan, kontes untuk menjadi bintang. Karena setiap orang ingin menjadi ternama, dikenal orang dan dipuja, serta menghasilkan banyak kekayaan. Hal itu sebenarnya tidaklah mengherankan, karena kebutuhan manusia, setelah kebutuhan dasar (sandang pangan) terpenuhi, adalah keinginan untuk dihargai, diakui. Ketika Iblis menggoda Hawa di taman Eden, yang Iblis tawarkan adalah: ”...kamu akan menjadi seperti Allah...” (Kejadian 3 : 5). Sesuatu yang sangat menarik dan menggoda sehingga menyebabkan Hawa jatuh ke dalam dosa. Kejatuhan Iblis juga disebabkan ia ingin menjadi seperti Allah (Yesaya 14 : 12-14). Dan sejak manusia jatuh ke dalam dosa, benih itu telah ditaruh Iblis dalam hati manusia. Sejak lahir seorang anak telah memiliki ’ego’ dalam dirinya, yang ia pikirkan selalu adalah ”AKU”. Ia ingin semua orang memperhatikan dirinya, ia ingin selalu menjadi pusat perhatian. Saat seorang anak menjadi remaja, yang ia cari adalah ”jati diri”, yang ia perlukan adalah ”pengakuan”. Maka tak heran kalau semua orang berlomba untuk menjadi bintang, menjadi idola, sampai pun ada yang rela mengorbankan ”keselamatan jiwanya” untuk itu. Bahkan juga di dalam yang namanya ”pelayanan”. Seringkali motivasi yang ’tersembunyi’ adalah untuk mencari nama. Tetapi mari kita pikirkan, apakah hal itu cukup berharga? Berapa lamakah semua itu akan bertahan? Saat manusia mati, berapa lama ia akan dikenang? Pengkhotbah mengatakan: ”Karena tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan.” (Pengkhotbah 2 : 16a). Nama besar, popularitas, semuanya tidak akan bertahan lama. Dan terlebih lagi seharusnya kita sadar, bahwa semua itu tidak berharga di mata Tuhan! Saat kita menghadap Tuhan, Ia tidak akan bertanya seberapa populer kita ketika ada di dalam dunia, atau apakah kita sudah memperoleh nama besar selama kita hidup? Tuhan tidak meminta hal itu! Jadi, sebagai anak-anak Tuhan, apakah yang akan kita cari selama kita hidup? Rasul Paulus berkata: ”Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” (II Korintus 5 : 9-10). Bagi Rasul Paulus, prioritas yang dikejarnya adalah agar hidupnya berkenan kepada Tuhan, bukan nama besar atau popularitas. Bagaimana dengan kita? (Ginny)

Sayangi hidupmu! Jangan mencari hal yang sia-sia. Kejarlah hal-hal yang bernilai kekal.

Kamis, 10 Mei 2007

YESUS ADALAH TUHAN

Roma 10 : 9-13

Di berbagai tempat sering kita jumpai bahwa kata yang sama sering dimengerti lain. Pengertian kata yang berubah memang dapat membingungkan. Sebagai pengikut Kristus, kitapun sering bingung ketika apa yang kita pikirkan tentang kebenaran Alkitab berbeda dengan maksud Tuhan. Apabila ini terjadi, kita dapat tidak memuliakan-Nya dalam hidup kita. Ingat kisah Hawa, ia memilih untuk berpikir menurut kata-kata ular dari pada Tuhan dan akibatnya ia diusir dari Firdaus bersama Adam. Maria, ibu Yesus, memilih untuk mempercayai kata-kata malaikat dan ia diberkati. Itulah sebabnya amat sangat penting untuk membangun pikiran menurut Alkitab, bukan pengertian kita. Tanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan berikut:
Apakah saya percaya bahwa Tuhan telah menjadikan Yesus Kristus penguasa mutlak atas seluruh kehidupan? (Yohanes 17 : 2, Kolose 1 : 15-17).
Apakah saya percaya bahwa keselamatan hanya datang melalui Yesus Kristus? Bahwa di luar Yesus tidak ada yang dapat saya lakukan untuk memperoleh keselamatan? (Yohanes 14 : 6, Efesus 2 : 8-9).
Sudahkah saya menyerahkan seluruh aspek kehidupan saya di bawah kehendak Yesus? (Yohanes 15 : 5, Galatia 2 : 20).
Apabila apa yang kita percayai sesuai dengan kebenaran Alkitab, tindakan kita akan memuliakan Tuhan (I Yohanes 8 : 31-32, Matius 5 : 16). Karena itu luangkan waktu setiap hari untuk membandingkan dan menyelaraskan pemikiran Anda dengan pemikiran Tuhan. (DBR)

Setiap hari kita harus selalu menyatakan Yesus adalah Tuhan lewat tindakan, perkataan dan pikiran kita.

Jumat, 11 Mei 2007

PERTOBATAN

Lukas 3 : 1-14

Jika Anda pernah mengamati para tentara melakukan latihan baris-berbaris, Anda pasti tahu betapa cepatnya mereka membalikkan badan menuju arah yang berlawanan. Hanya dengan sekali aba-aba mereka langsung membalikkan badan menuju arah yang benar-benar berbeda. Ini adalah gambaran yang cocok untuk pertobatan sejati. Pertobatan sejati berarti berubahnya pikiran seseorang ke arah yang benar-benar berbeda, ke arah yang berlawanan. Salah seorang pengkhotbah pertobatan yang terbesar di dalam Alkitab adalah Yohanes Pembaptis. Ia memberikan aba-aba “Balik badan!” kepada para pendengarnya. Ia telah mengamati tanda-tanda pertobatan yang dangkal di mana orang hanya berpura-pura untuk bertobat namun tidak bersedia mengubah perilaku mereka. Yohanes memaksa mereka supaya tidak menunjukkan perasaan berdosa yang dibuat-buat, melainkan harus “memberikan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (ayat 8). Ketika para pendengarnya menanyakan apa yang dimaksudkan, mereka diperintahkan untuk membagikan makanan dan pakaian mereka, untuk bersikap jujur dalam bisnis mereka, dan untuk mencukupkan diri dengan apa yang mereka peroleh. Dengan kata lain, mereka harus melakukan hal-hal baru dan membuang yang lama. Pertobatan juga mencakup kesediaan untuk menciptakan pemulihan kepada siapapun yang pernah dirugikan atau disakiti. Ketika Zakheus menerima Yesus di rumahnya, ia menunjukkan sikap yang benar tentang pertobatannya dengan berkata, “Sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19 : 8). (Aping)

Sudahkah tanda pertobatanmu berupa perubahan dalam hidupmu terlihat oleh orang lain?

Sabtu, 12 Mei 2007

KASIHILAH... SEPERTI DIRIMU

Matius 18 : 24-30

Hukum kasih yang diberikan Yesus terdiri dari dua bagian: mengasihi Allah dan orang lain. Pada renungan kita hari ini, mengasihi orang lain diperintahkan Allah seperti mengasihi diri kita sendiri. Tetapi yang kita lihat terjadi di sekeliling kita adalah bahwa kita menerapkan “standar ganda”. Kita mengasihi orang dengan syarat, tetapi mengasihi diri sendiri tanpa syarat. Sering kita mengasihi orang lain, kalau orang lain bersedia melayani kita, orang lain memenuhi ketentuan kita, orang lain mencapai ‘standar’ yang kita tetapkan sangat tinggi. Apakah kita adil? Kita sering menggunakan kata “demi keadilan...” atau, “biar orang itu belajar...”. Ingat, seperti renungan hari ini, kita juga punya utang yang jauh lebih banyak dari orang lain! Jadi itulah ekspresi kasih yang Tuhan inginkan. Tidak menjadi yang paling ‘suci’, tidak menjadi yang paling ‘benar’, tetapi mengasihi berarti mengampuni, karena kita juga sudah diampuni. Hutang kita sudah dihapuskan, jadi mari kita juga menghapuskan hutang orang lain tanpa ‘demi...’. (cubs)

Kalau saya tidak mau dihukum, yaa jangan menghukum...

Minggu, 13 Mei 2007

RAJA DAMAI

Filipi 4 : 6-9

Salah satu tragedi budaya modern adalah apa yang dicari dan diupayakan oleh banyak orang melalui kerja keras pada kenyataannya bukanlah hasil dari prestasi dan usaha mereka. Berjuta-juta orang “menjungkir-balikkan” isi dunia untuk mencari damai tanpa pernah menyadari bahwa damai yang sejati tidak berasal dari dunia ini. Damai tidak dapat dibeli. Damai di dalam batin samasekali tidak pernah akan Anda dapatkan sampai Anda berdamai dengan Tuhan. Kita dapat merasakan damai yang melampaui segala akal sekalipun kita sedang mengalami saat yang paling tragis dalam hidup ini. Damai yang sejati tidak mungkin didapat kecuali kita mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Tuhan. Kalau kita mau menyerahkan perjuangan dan kebutuhan kita di kaki salib, kita akan menemukan sumber damai yang melimpah. Hati yang penuh damai tidaklah berakar pada prinsip atau filosofi dunia. Hati yang penuh damai hanya dapat diwujudkan melalui hubungan yang akrab dengan Yesus Kristus (Efesus 2 : 14-15). Iblis selalu berusaha merebut setiap kesempatan untuk menghancurkan damai yang kita miliki dengan menjauhkan kita dari Kristus dan menarik perhatian kita pada hal-hal yang tampaknya penting padahal sesungguhnya ia hanya ingin mengalihkan pandangan kita dari Tuhan. (DBR)

Yesus Kristus Sang Raja Damai adalah satu-satunya sumber damai.